Senin, 14 Oktober 2013

Edelweismu



Hampir dari setengah abad hari-hariku hanya menatap langit yang hampir runtuh dengan kekalutan alam semesta menolong diriku mengetahui sebuah rasa dari kehidupan yang seperti ini
Aku sudah lupa bagaimana caranya tersenyum menatap sang fajar dan menanti saat matahari tenggelam

Aku selalu ingat,…kita punya tempat favorit. Tempat itu di atas sebuah bukit belakang sekolah. ada padang di sana, ditengah padangnyaa ada sebuah pohon baobab menjulang tinggi menggantungkan ayunan ditangannya. pohon itu di tumbuhi akar beringin dan dihiasi tanaman merambat.Kita buatkan rumah pohon dimana tempat kita mengadukan beban dipundak kita. Selalu ada di ingatanku menari-nari semua kenangan itu.

kalau ada waktu, weekend kau hanya ingin ke sini, tidak suka hiruk pikuk kota. kau selalu mengayunku di pohon itu.  kau menatapku dalam dan dari matamu yang bulat penuh itu aku merasakan sesuatu yang ku sebut itu cintaa.

Aku menyukai tempat ini, aku bisa menari bebas di atas panggung yang kucipatkan setiap kami datang. Ada sebuah batu besar menjulang menggapai langit, ku ingat tingginya sekitar 1,5 meter dengan anak-anak batu di sampingnnya. Memungkinkan kita naik ke atas sambil duduk menikmati senja sore ini.Kita suka bernyanyi mengikuti aliran sungai yang berujung danau. Menghempaskan rambutku pada langit dan merebahkan tubuhku pada bumi. Pemandangan itu memanjakan mataku, edelweiss menjorok ke laut tumbuh di antara tebing-tebing terjal bukit belakang sekolah. Arang gunung yang menghiasi setiap pandangan kita di bukit, edelweisnya tersusun rapi membagi lukisan warna dengan lembah biru dan bukit dengan rerumputan hijau.

Semakin indah dengan siraman warna emas matahari senja. Aku tambahkan lagi dengan warna pink bajuku.  Senja mulai meninggalkan sebagian dari wajah bumi, aku semakin menyukai apa yang aku lihat saat ini, Sedetik aku berdamai dengannya.

 "Din,..liat deh edelweisnya cantik yah,..tau tidak, edelweiss itu melambangkan keabadian, keabadian cinta” aku cuma bilang ohh,..ia” tapi dia kembali berkata “ini  lambang keabadian cintaku”lalu dia mendekatkan telunjuknya kekeningku sambil berkata “ini tidak akan bisa kau tahu karena kau selallu menggunakan logikamu, cinta itu ada di sini” dia kemudian menggenggam tanganku dan menempelkan kelima jari-jari mungilku ke dadanya.

Kenangan itu kembali menyeruak, mendemo neuron-neuron di otakku. semalam, tepat sehari sebelum setahun kejadian itu. Embun membasahi celanaku, menunggu fajar. Entah mengapa subuh itu aku ingin ke sini. Menyaksikan matahari terbit dengan segenggam bunga, Edelweis. Aku membawakan bunga ini untukmu. Aku berharap bunga ini dapat menemanimu di keabadianmu di sana.

Aku selalu bisa merasakan cintamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar