Hampir dari
setengah abad hari-hariku hanya menatap langit yang hampir runtuh dengan
kekalutan alam semesta menolong diriku mengetahui sebuah rasa dari kehidupan
yang seperti ini
Aku sudah lupa
bagaimana caranya tersenyum menatap sang fajar dan menanti saat matahari
tenggelam
Aku selalu ingat,…kita punya tempat
favorit. Tempat itu di atas sebuah bukit belakang sekolah. ada padang di sana, ditengah
padangnyaa ada sebuah pohon baobab menjulang tinggi menggantungkan ayunan
ditangannya. pohon itu di tumbuhi akar beringin dan dihiasi tanaman
merambat.Kita buatkan rumah pohon dimana tempat kita mengadukan beban dipundak
kita. Selalu ada di ingatanku menari-nari semua kenangan itu.
kalau ada waktu, weekend kau hanya ingin ke sini, tidak suka hiruk pikuk kota. kau selalu mengayunku di pohon itu. kau menatapku dalam dan dari matamu yang bulat penuh itu aku merasakan sesuatu yang ku sebut itu cintaa.
Aku menyukai tempat ini, aku bisa
menari bebas di atas panggung yang kucipatkan setiap kami datang. Ada sebuah
batu besar menjulang menggapai langit, ku ingat tingginya sekitar 1,5 meter
dengan anak-anak batu di sampingnnya. Memungkinkan kita naik ke atas sambil
duduk menikmati senja sore ini.Kita suka bernyanyi mengikuti aliran sungai yang
berujung danau. Menghempaskan rambutku pada langit dan merebahkan tubuhku pada
bumi. Pemandangan itu memanjakan mataku, edelweiss menjorok ke laut tumbuh di
antara tebing-tebing terjal bukit belakang sekolah. Arang gunung yang menghiasi
setiap pandangan kita di bukit, edelweisnya tersusun rapi membagi lukisan warna
dengan lembah biru dan bukit dengan rerumputan hijau.
Semakin indah dengan siraman warna
emas matahari senja. Aku tambahkan lagi dengan warna pink bajuku. Senja mulai meninggalkan sebagian dari wajah
bumi, aku semakin menyukai apa yang aku lihat saat ini, Sedetik aku berdamai
dengannya.
"Din,..liat deh edelweisnya cantik yah,..tau
tidak, edelweiss itu melambangkan keabadian, keabadian cinta” aku cuma bilang ohh,..ia” tapi dia
kembali berkata “ini lambang
keabadian cintaku”lalu dia mendekatkan telunjuknya kekeningku sambil berkata
“ini tidak akan bisa kau tahu karena kau selallu menggunakan logikamu, cinta
itu ada di sini” dia kemudian menggenggam tanganku dan menempelkan kelima jari-jari mungilku ke dadanya.
Kenangan itu kembali menyeruak,
mendemo neuron-neuron di otakku. semalam, tepat sehari sebelum setahun kejadian itu. Embun membasahi celanaku, menunggu fajar. Entah
mengapa subuh itu aku ingin ke sini. Menyaksikan matahari terbit dengan
segenggam bunga, Edelweis. Aku membawakan bunga ini untukmu. Aku berharap bunga
ini dapat menemanimu di keabadianmu di sana.
Aku selalu bisa merasakan cintamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar